Wednesday, September 29, 2010

mengapa ini terasa begitu dalam, dalam sekali...

Past

Masa lalu, gabungan dua kata yang apabila didalami..., entah, ternyata aku telah terjatuh terlalu dalam. Ini begitu menyayat, hingga mataku berlinang. Terkadang sesuatu yang dulunya indah itu bisa membuat tangisan di masa depan, kerinduan yang sangat menggebu menjadi abu. Syukur terucap, tetap hati miris.

Indah disana berbeda dengan disini. Ada kemiripan, hanya saja keindahan yang satu disini agak menyayat, karena masa itu tak akan terganti, mungkin nantinya masa kini pun begitu.

Let the past be the past.
Ya sudah lah, indah disana masih menanti.

Sunday, September 26, 2010

Rest In Peace, My Dearest Auntie

Rasanya baru kemarin saya ketemu beliau, hampir 2 minggu yg lalu, di kampung halaman. Kondisinya sehat, walaupun badannya udah mengurus berkilo-kilo dari setaun yang lalu saya pulang. Beliau adalah salah satu tante kesayangan saya, yg perhatian sama saya, yg selalu menyediakan dendeng balado dan rendang yg maknyos, yg mana anaknya pun dekat sama saya. Dan semua planning saya buat refreshing setelah ospek seru-seru-cape pun (bukan dengan terpaksa) saya batalkan. 

Saya baru tau kabarnya sekitar jam 11.30 barusan, padahal beliau pergi jam sembilan pagi. Entah apakah feeling atau bukan, di tulisan sebelumnya, tepatnya malam tadi, saya merasa sangat tidak nyaman.

'Ini bukan galau, tapi malam minggu abstrak.'
Itulah tulisan di penghujung blog. Seharusnya setelah 3 hari OSPEK dari jam 5.30 subuh dan berakhir selalu hampir jam 7 itu, saya segera tertidur pulas setelah sampai di rumah jam 8 malam. Tapi entah mengapa, telinga saya terasa begitu menggema, kepala saya terasa ngilu, saya ga bisa tidur, ga tenang. Dan terjadilah waktu sekarang...

Singkat saja, saya mohon doanya agar beliau diberikan tempat yg paling nyaman di sisi-Nya, semua amal ibadahnya diterima oleh-Nya. Amin.

Alfatihah..

Saturday, September 25, 2010

Satu tetes juga cukup

Saya beneran butuh nangis, walaupun setetes. Perasaan saya beneran campur aduk, antara sedih, kangen, cape, seneng, kecewa, dan kacau. didukung kondisi badan yg buruk. astagfirullah...

ini bukan galau, tapi malam minggu abstrak.

Perbedaan MOS dan OSPEK (for me)

Sekitar 3 tahun lalu ketika MOS masuk SMA, ada seorang senior cowo yg duduk di atas meja saya yg kebetulan saya duduk paling depan. Ketika si akang tersebut berdiri kemudian bercengkrama dengan temannya di depan saya, say menemukan uangnya 1000 rupiah terjatuh di meja saya.
"Maaf kang, ini uangnya jatuh," ucap saya pada si akang tadi dengan sopan.
"Kenapa ga kamu ambil?" tanya si akang agak sinis, maklum OSIS. Ketika si akang bertanya, tentu saja mata saya memerhatikan wajahnya. Dan disinilah yg dinamakan love at the first sight. Aiiiih... apa sih. Saya pun menyebut namanya Kulkas (kul n kasep).
"Kan saya anak baik dan jujur," jawab saya.
Si akang pun mengambil uangnya tanpa omongan dan keluar kelas.

Sejak saat itu saya mulai mengeceng dan menurut penelitian teman-teman saya, katanya saya dan Kulkas itu saling mengeceng. Jadi ceritanya sama-sama merhatiin gitu. Hahaha. Tapi ternyata di SMA kita tidak berjodoh. Saya sama siapa, dia sama siapa. Dan setaun kemudian setelah dia udah kuliah, saya tau bahwa dia itu cowo Padang! yg artinya dia adalah kriteria saya dalam punya pacar sekampung halaman. Ya sudahlah.

Nah tadi, saya melaksanakan OSPEK masuk kuliah. Singkat saja, Lucu. Ketika sedang berlari berburu cap dari panitia, tak sadar uang 20rb saya terjatuh. Dari belakang pun terdengar suara laki-laki memanggil sambil berlari, "De, De, uangnya jatuh!" Ternyata dia ngejar saya cuma buat ngasihin uang saya yg terjatuh! Ah senior yg baik.

Ga tau, lucu aja. Saya jd senyum-senyum ga jelas mengingat Juni 2007, saya yg menemukan uang senior yg terjatuh, dan sekarang kebalik, pakai acara kejar-kejaran. Tapi sayang, karna saya buru-buru, maka saya tidak memerhatikan wajahnya. Yg jelas si akang senior dari BEM ini berpostur tentara dengan wajah ala tentara. Dan ketika saya pulang, sepertinya akang senior yg melindungi saya dari hujan dengan kertas kardus ketika saya membeli barang di panitia adalah dia. Entahlah ya. Tadi udah malem dan mata saya tidak beroperasi normal karena kelelahan. Sampai-sampai rekannya yg perempuan dibiarkan begitu saja dengan hujan. Bukannya GR, cuma penasaran aja.

Sunday, September 19, 2010

RALAT!

"Udahan ah mau cari yg baru aja.."

"Lho, kenapa? Dicuekin ya? Wahahahaha..."

"Ih sok tahu! Orang terakhir ketemu sebelum dia pergi kita ada peningkatan ko."

"Saling memandang ya?"

"Saling memandang dan berpelukan. Enggaklah! Udah males aja, udah lama ga ketemu."

"Ah beda sih yg lagi kejatuhan cinta mah."

Baru aja diomongin dan setelah hampir 2 bulan ga ketemu, tadi dia muncul. Jadi ucapan yang tadi ralat aja ya. :)

Saturday, September 18, 2010

Singkat saja, tinggalkan sebentar.

Sepi. Ternyata aku belum terbiasa sok-sokkan menyendiri, menghindar dari kehidupan normalku. Bukannya muak pada mereka, hanya saja aku rasa aku akan lebih baik nyaman apabila menyendiri. Didukung oleh rusaknya BB-ku karena terjepit ketika membanting pintu mobil. Sendiri yang malang.

Kamar tidur adalah pilihan pertamaku untuk menyendiri. Jika belum juga berhasil menenangkan, sebisa mungkin pasti aku akan pergi meninggalkan kota ini, karena bila terus disini bisa-bisa aku menyiksa diriku sendiri, yang mana dalam agama itu adalah perbuatan dosa.

Telah banyak sms dan telepon masuk ke ponselku, yang rata-rata bertanya yang sama, "ada apa?" bila di sms jelas tak aku balas, tapi di telepon langsung saja kumatikan sambungannya. Sebenarnya tak jelas juga ada apa dengan diriku. Sepertinya aku tahu, tapi aku tak tahu juga mengapa ini begitu kompleks. Rasanya ingin kabur, tapi belum saatnya.

Aku benar-benar tidak mau bertemu siapa pun, bahkan di dunia maya.

Friday, September 3, 2010

Kenangan yang Kembali Terbuka

Kulihat kelas masih sepi, hanya ada 3 orang teman yang mana satu diantaranya sedang menangis, menutup mukanya dengan kedua tangannya, dan 2 orang lainnya berusaha menenangkan.

Setelah tas kutaruh di atas mejaku, aku menghampiri ketiga temanku dan bertanya kecil, "kenapa Laras?" Nanda yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Laras menjawab sambil menggeleng, "ga apa-apa." Sedangkan ketika mataku melirik bertanya pada Puspa, ia hanya menggeleng jutek. Sepertinya ada yang salah.

Aku pun mencoba bertanya langsung pada Laras sambil berjongkok di sebelahnya, "hei, kenapa nangis? Udah dong, jangan nangis..." Aku refleks menyentuh tangannya yang sudah tak membungkus wajahnya, dan ia menepisnya. Jelas ada yang salah, tapi aku tak tahu.

"Ras, kenapa, marah sama gue?" Tanyaku pelan sambil melirik kedua temanku yang lain, yang tidak mendapatkan respon yang kuinginkan.

Laras tetap membisu dalam isakkannya, dan pandangannya lurus ke depan. Jelas ia sedang emosi besar, dan ini pasti karenaku.

"Ras, salah gue apa sampai elo segitunya?" Aku mulai berkaca-kaca, biasalah, cengengku kambuh kalau keadaannya sudah seperti ini.

Mulai lah tempat kami berempat dikerubungi teman-teman yang lainnya, karena sebentar lagi bel masuk sekolah berdering.

"Ras, maapin ya, kalau gue punya salah sama elo..." Entah apa yang bisa kukatakan lagi selain kalimat barusan.

Spontan ia berdiri, membanting tangannya ke meja, dan berteriak-teriak sambil menangis, "heh, lo tanya salah lo apa? Gara-gara lo IBU GUE NYARIS MATI TAU!!"

Deg.
Tangisku pun ikut pecah. Beberapa teman yang ikut menyaksikan berusaha menenangkan aku dan Laras. Ia masih berdiri, air matanya terus mengalir, pandangan marah lurus ke depan, dan napasnya terengah-engah menahan emosi yang super dahsyat. Aku masih jongkok, menangis terisak, dengan rangkulan teman-temanku.

"Kalau gue kemarin pulangnya langsung ke rumah, pasti ibu gue baik-baik aja. Untung ada ade gue di rumah, kalau engga ibu gue pasti udah mati!" Ucapnya dengan nada tinggi.

Ya, kemarin aku menyuruh teman-teman kelompok dramaku agar latihan sebentar mengingat deadline yang sudah dekat, karna kami baru sekali latihan. Dan ini bukan untuk kepentinganku saja, tapi untuk kelompok, untuk Laras juga.

"Emang ibu lo kenapa?"

"Ibu gue tuh punya penyakit tulang layu tau! Dan kemarin nyaris aja tiba-tiba jatuh kalau ga ada ade gue!"

Entah lah penyakit tulang layu itu seperti apa. Aku terdiam sejenak, kemudia berkata dengan bodohnya, "ya udah, kalau gara-gara gue ibu lo nyaris mati, bunuh aja gue sekarang..."

Laras kembali membanting meja, kemudian menarik kerah seragamku dan berkata lantang, "mana pisaunya, MANA?!"

"Istigfar kalian!" Ucap beberapa teman yang kemudian berusaha memisahkan aku dan Laras.

"Nggrek, tolong ambilin pisau di kantin..." Pintaku lemah pada Anggrek yang kebetulan paling dekat denganku.

"Astagfirullah, apaan sih lo?"

Bel kelas pun berbunyi, aku digiring teman-temanku untuk duduk di mejaku. Sambil tetap terisak, aku mulai berpikir, apakah ibunya nyaris mati memang benar gara-gara aku? Ya mana aku tau juga kalau ibunya punya penyakit yang aku engga tau itu penyakit apa. Teman sebangkuku bilang, itu bukan salahku. Tentu saja. Sebagai ketua kelompok, aku hanya ingin menampilkan yang terbaik, dan untuk mewujudkan yang terbaik itu harus melalui pengorbanan, seperti mengorbankan waktu pulang ke rumah menjadi lebih lama. Ralat, sedikit lebih lama.

Semua isi kelas tau, bahwa aku dan Laras sebelumnya berteman sangat baik. Kita sering berkumpul bersama dan cerita-cerita tentang rahasia masing-masing. Dan tau tidak, semenjak aku dan Laras bermasalah karena (katanya) aku nyaris membuat ibunya mati, ia ternyata membocorkan semua rahasiaku, dan membuat aku jelek di depan teman-temanku. Seharusnya bukan hanya aku yang jelek di mata teman-temanku, tapi dia juga.

Disini lah kehidupanku mulai rumit. Dan ini semua berakhir 2 bulan kemudian, ketika kakakku yang paling tua meninggal dunia. Laras tiba-tiba saja meneleponku, bilang turut berduka cita, kemudian meminta maaf padaku dan mengaku bahwa ini semua bukan salahku, tapi ia yang salah. Lantas, apakah aku memaafkannya?

Tidak.
Dengan mudahnya ia menghancurkan hidupku. Dengan mudahnya ia mengucap kata maaf. Tidak mungkin dengan mudahnya aku memaafkan dia.

Semua sudah terjadi. Aku sudah dipandang buruk. Dia menjadi sorotan untuk dikasihani, bak setan berlapis malaikat. Aku bertambah memburuk. Dia ingin semuanya kembali seperti awal, dan bertingkah seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Munafik, kembali menjilat air liur sendiri.

Ya, kesuramanku ditutup dengan kepergian kakakku untuk selama-lamanya. Apakah ini tumbal agar kehidupanku kembali seperti semula, Tuhan? Aku sangat menyayanginya, dan sepertinya ini belum waktunya untuk ia pergi.

April-Juni 2006. Kenangan yang kembali terbuka.