Monday, November 22, 2010

The A Place

Tempat ini. Kiranya sudah lama aku tidak menginjakkan kakiku disini, dan duduk di sofa nyaman ini, dan tetap banyak membisu disini. Hal parah yang kuketahui adalah bahwa aku merindukan tempat ini. Aku merindukan suasana ini, penerangan sengaja minim agar terkesan remang-remang, dan suara musik yang terdengar di seluruh penjuru tempat ini. Aku merindukan orang-orang ini, walaupun telah banyak yang berganti, yang artinya orang-orang yang kurindukan tak banyak.

Mataku menjelajah setiap sudut yang dapat dijangkau mataku. Ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku disini, seorang pria brewokan berambut gondrong sedang duduk di depan komputer yang kini digunakan oleh seorang lelaki yang umurnya beda tipis diatasku. Dari ruangan yang dulu bercat kuning-putih, yang keluar adalah seorang perempuan yang ternyata menjadi teman baikku, tapi sesaat yang lalu, yang keluar dari ruangan yang kini bercat merah-hitam, yang keluar adalah seorang perempuan seumuranku, dan dia bukan teman baikku. Eh iya, kulit luar yang melapisi sofa ini juga telah berubah, dari warna kecoklatan polos, menjadi kuning bintik-bintik warna lain.

Satu-persatu orang dari 4 tahun yang lalu datang, sekitar 3 orang sepertinya. Suasana pun semakin terasa seperti dulu, walaupun jelas berbeda. Lagi-lagi kepulan asap rokok tercipta dari seorang perempuan lulusan keperawatan salah satu universitas negeri favorit di Bandung. Oke, dan betapa dulu aku sangat mengagumi tulisannya, si perempuan cantik mungil dan sedikit agak nakal. Orang yang datang berikutnya adalah pacar si alumnus keperawatan yang anehnya dia sekarang tidak berprofesi sebagai perawat. Seorang anak band, yang dulunya pacar kakaknya temanku. Lelaki ini tinggi dengan kulit hitam-manis. Ah, betapa aku merindukan saat-saat canda tawa di masa 4 tahun yang lalu, bersamanya, bersama teman dekatku, dan bersama orang-orang yang tidak asing seperti sekarang. Dan orang terakhir yang datang adalah seorang lelaki, seumuran dengan kakakku yang paling besar. Ia masih tetap disini, sejak saat itu. Sayangnya kejantanannya semakin dipertanyakan, karna dulu ia tak seperti ini. Malang sekali.

Aroma segar tercium ketika ruangan bercat merah-hitam terbuka. Bau ini, sama sekali tidak berubah.

Sunday, November 14, 2010

Past and Future

Ini foto yang diambil bi bulan April 2008, seminggu sebelum ulang tahun saya di jaman kelas 1 SMA. Dan tau ga, saya abis nangis lho, waktu itu. Hahaha. Jaket yang saya kenakan pun bukan jaket saya, melainkan jaketnya Dery. Kebetulan hari itu saya pulang malam abis main sama anak-anak kelas, mulai Dago Pakar, Lembang, Subang, dan terakhir nganterin Sasha ke Margahayu bareng Dery sama Kiby.


Saya nemu foto ini di blog lama, karna sejujurnya saya sudah lupa menyimpan si foto ini di folder yang mana.

Entah deh, banyak yang ingin diceritakan, tapi ga bisa...
Satu yang saya rasa, dan saya sadari, bahwa kita ga bakal tau bagaimana kita di depan sana, karna di masa itu, tidak pernah terbayangkan saya akan menjadi seperti sekarang.

Eh iya, Indah Panda juga tercipta waktu jaman-jaman saya kelas 1 SMA, dan dari sanalah banyak orang yang mengenal saya dengan Indah Panda :')

Thursday, November 11, 2010

Filariasis Eliminasi at Kampung Rawabogo, Ciwidey

Sekitar 3 minggu yang lalu, saya dan 6 kawan lainnya dari kelas terpilih untuk mengikuti Penyuluhan Filariasis Eliminasi yang akan dilaksanakan di Kabupaten Bandung, khususnya Bandung Selatan. Seneng sih, menjadi salah satu orang yang terpilih, lumayan dapet pengalaman lebih cepet dibandingin temen-temen yang lain, berhubungan kami masih tingkat 1, which is baru 2 bulan kuliah.

Filariasis merupakan nama lain dari penyakit kaki gajah, yang disebabkan oleh caring filaria. Vektor atau media penularannya adalah melalui nyamuk. Pertama nyamuk hinggap dan menghisap darah seseorang. Pada nyamuk yang sudah terkena filariasis terlebih dahulu, ketika sedang menghisap darah, air liur nyamuk digunakan para larva filaria untuk masuk ke dalam tubuh, hingga lama-kelamaan berkembang kemudian tumbuh dewasa di dalam tubuh. Cacing dewasa kemudian tumbuh dan menghambat kelenjar dan saluran limfe.

Setelah keputusan dari pihak STIKES A.YANI dan DINKES Kab. Bandung, maka jurusan saya dapetnya ke Ciwidey maupun pelosok-pelosok yang ada di Ciwidey, dan saya kebagian di Rawabogo, wilayah paling pelosok yang kami kunjungi (artinya masih ada yang lebih pelosok lagi, tapi sepertinya tidak kami kunjungi). Awalnya saya bingung, dimana si Rawabogo ini berada. Googling di internet, yang ketemu cuma alamatnya aja ada dimana. Coba ngesearch buat gambar, yang ketemu ga banyak, ga nyampe 20 gambar kalau ga salah. Ini cukup jelas menandakan bahwa tempat yang akan saya kunjungi bukan tempat yang terkenal.

Pertama menginjakkan kaki di Puskesmas Rawabogo bersama 2 rekan dan 1 dosen pembimbing, agak kaget sebetulnya, karena kami datang di hari pertama. Ternyata ada kesimpang-siuran berita dan kesalahpahaman dari pihak kampus saya dengan pihak Puskesmas, dan ini juga yang saya herankan dari awal sehubungan dengan jadwal acara yang saya dapat sangat mengambang. SKIP.

Ketika datang, kami disambut oleh para petugas Puskesmas, ada bidan, perawat, ibu RW, ibu Kader, dan perangkat Puskesmas yang lainnya. Taunya salah satu dari kami langsung diajak ke salah satu RW bersama ibu kader. Di antara bertiga, Saya, Dewi, dan Ari, kami agak ragu untuk memutuskan siapa yang akan ikut dengan ibu kader. Hompimpa pun nyaris dilakukan. Tapi karena syukurnya kami masih punya malu, maka kami main tunjuk. Dan dosen pembimbing saya, Bu Nuri, langusng mengorbankan saya duluan. Oke, dan kita berpisah.

Saya dibawa ibu kader ke rumahnya yang kondisinya cukup memprihatinkan. Lantai rumahnya terbuat dari kayu, berbentuk agak panggung ala rumah adat Sunda jaman dulu, tapi tingginya sekitar 60cm. Memiliki jamban yang paling parah yang pernah saya lihat, yaitu di luar rumah dengan bertutupkan bilik, itu pun tidak ada pintu dan atapnyanya, alias terbuka begitu saja. WC pun tak ada. Dan airnya itu lho, entah sedang keruh atau ember tempat penampungannya yang kotor. Tapi ketika saya wudhu disana, ya sudahlah niat aja yang penting. Oh iya, yang paling shock adalah sesuatu yang terdapat di bawah lantai rumahnya bu kader, KANDANG AYAM saudara-saudari! Iya, jadi saya shock ketika keluar rumah sebentar, kemudian sebelum masuk lagi, saya melihat ada yang nongol-nongol dari retakan besar yang ada di bawah pintu masuk. Saya yang kebetulan lagi ga pake kaca mata, langsung memperdekatkan pandangan saya pada sesosok tersebut, dan jelaslah terlihat kepala-kepala ayam yang lagi ngintipin orang kota dateng. Huahahahaha

Kegiatan start dari jam 3 sore dan berhenti jam 6 sore. Jam 3.30, belum ada warga yang dateng ke rumah bu kader, yang ada hanya bu kader, bu bidan, dan saya sendiri. Ya udah deh saya ngegosip aja sama bu bidannya. Oh iya, satu pesan saya: JANGAN PERNAH BERBICARA SOK-SOKKAN SUNDA APABILA ANDA MEMANG BELUM TERBIASA BERBICARA SUNDA HALUS. Yah, bisa dibayangkan lah, pelafalan bahasa Sunda-Indonesia saya kemarin itu mirip-mirip Cinta Laura ketika melafalkan bahasa Inggris-Indonesianya. Dan itu terdengar sangat engga banget, maksa gitu lah. Dan akhirnya bu bidan dan bu kader memaklumi.

Kerjaan saya di rumah bu kader adalah memeriksa tensi darah warga dan membagikan obat-obat untuk mencegah kaki gajah, seperti DEC, Albendazole, dan Paracetamol. Karena hanya sedikit warga yang datang ke rumah bu kader, maka saya berinisiatif ngajak anaknya bu kader, si Eneng (panggil saja si Eneng, karna sesungguhnya saya lupa siapa namanya :p), untuk berkeliling ke rumah warga yang dekat untuk membagikan obat-obat tersebut.  Ga sih, sebenernya saya ga betah diem atau terus stay tanpa melakukan sesuatu yang berarti, jadi timbulah pikiran saya untuk keliling kampung sebentar.

Ketiga obat yang tadi disebutkan berdampak buruk apabila salah konsumsi, tapi itu merupakan dampak yang wajar, seperti mual dan pusing. Bukan dampak buruk sih sebenarnya, itu efek sampingnya. Dan menurut pengamatan saya dan si Eneng, para warga malas mengambil obat ke rumah bu kader karena efek sampingnya itu. Mereka terpengaruh berita di TV setahun yang lalu, yang memberitakan tentang orang yang meninggal setelah mengkonsumsi obat filariasis ini. Ternyataaaaaaa, setelah saya melakukan percakapan yang mendalam dengan warga dari rumah-ke-rumah, pada pembagian obat filariasis tahun lalu, mereka tidak diberikan penyuluhan tantang kapan sebaiknya obat ini dikonsumsi. Ah bagaimana pulak orang Dinkes ini!

Tahun kemarin, obat filariasis ini dibagikan kalau tidak salah sekitar pagi/siang hari. Para petugas yang memberikan juga tidak memberitahu kapan waktu mengkonsumsinya, sehingga banyak dari mereka yang meminumnya siang hari. Seharusnya obat ini diminum malam hari setelah makan, agar efek mual dan pusingnya itu tidak terasa. Begitulah. Bahkan ada balita yang setelah meminum obat ini, ia tidak sadarkan diri hingga malam hari. Ya ampuuuuun...

Maka dari itu dilaksanakan penyuluhan dan pemberian obatnya sore-sore.

Selesai solat magrib, saya balik lagi ke Puskesmas Rawabogo bersama bu bidan desa yang menemani saya di tempat bu kader. Ada yang lucu disini. Berhubung si ibu bidan baru ganti motor sama Vario terbaru, dia pun masih karagok makenya. Bu Bidan pun bilang, “Neng, Eneng aja ya yang bawa motornya. Ibu masih belum biasa, lagian si Eneng juga pasti punya kan, motor kaya gini di rumahnya. Hehe..”

Oke, dan saya yang bawa motornya si ibu, ngebonceng si ibu sampai Puskesmas, dengan posisi duduk ngakang karna lutut saya kepanjangan. Jadi motornya ini udah dikurangin panjangnya. Ya itulah, saya ga ngerti ngejelasinnya gimana, karna saya ga ngerti otomotif.

Sampai puskesmas sekitar jam setengah tujuh, dan udah sangat gelap karena penerangan yang minim. 2 rekan dan 1 dosen pembimbing yang juga disebar, telah sampai terlebih dahulu. Keadaan yang sudah mencekam menjadi semakin mencekam karna kami ditinggalkan hanya berempat di ruang tamu puskesmas dengan latar belakang suara kodok dan jangkrik. Maklum, pinggirannya masih sawah gitu. Keadaan diperparah oleh dosen pembimbing saya yang ternyata penakut, dan banyak mengorbankan saya, mulai dari mengunci pintu yang ternyata ga ada kuncinya, kemudian dijadikan orang yang terdahulu untuk masuk ke dapur puskesmas yang ga ada lampunya. Bisa dibayangin lah ya, kondisi horornya seperti apa. Dan tingkah si bu dosen pun bisa dimaklumi, karna jarak usia antara kita dan bu dosen hanya 4 tahun. Dia baru lulus D4 Kebidanan di kampus saya dan langsung ngajar.

Inti dari keseluruhan sih seru, tapi anehnya ga begitu capek. Satu sih yang agak disesalkan, pihak kampus saya kurang komunikasi dengan pihak puskesmas sebelumnya, sehingga kami tidak mendapatkan konsumsi hingga malam hari dan hanya disuguhin air putih anget aja. Tapi saya yakin, yang merasakan kelaparan pasti hanya kami yang kebagian di hari pertama aja, dan bersyukurlah mereka yang ga dapet di hari pertama.

 

Monday, November 8, 2010

Lagi, Ekspektasi dan Realita...

Aku tidak tahu mengapa semua ini terasa begitu rumit. Hal yang mulanya terlihat begitu normal, sekarang berubah menjadi gelap, bahkan pekat. Ini bukan abu-abu lagi, ini sudah jelas. Rotasi matahari sudah lebih dari 365 kali sejak saat itu, dan aku terbawa pada realitanya.

Realita bahwa aku sekarang disini.

Realita bahwa aku disini menari.

Realita bahwa aku disini bernyanyi.

Tarian duka, nyanyian pilu.

Ekspektasi hanyalah ekspektasi. Realita tidak bisa menuntut ekspektasi.