Sunday, May 22, 2011

P2

Nyaris saja aku melakukan hal bodoh itu, setelah menerima telepon dari Tika, sahabatku yang mengabarkan bahwa Sandy telah mendahuluiku malakukannya. Ternyata dia sama bodohnya denganku, dan malangnya lagi, karena dia yang melakukannya duluan, ia menghilangkan hasratku untuk menyusulnya ke alam sana.

Aku tahu bahwa bunuh diri merupakan tindakan bodoh dan tidak akan diampuni Tuhan, tapi ketika kamu terpikirkan untuk melakukannya, apakah kamu sadar bahwa itu merupakan tindakan yang bodoh? Apakah kamu sadar bahwa Tuhan sangat membenci tindakan tersebut? Jelaslah bahwa mengetahui dan menyadari itu beda. Dalam hal ini, seseorang tentu mengetahuinya, sekaligus tidak menyadarinya.

Entah apakah aku harus bersyukur atas kematian Sandy sehingga aku bisa berdiri di sini–di pemakamannya, dalam keadaan hidup, atau sedih atas kematian Sandy dan gagalnya rencanaku mengakhiri hidup. Yang jelas aku merasa bersalah padanya. Ini tidak perlu terjadi jika aku tidak terlibat masalah dengannya. Ini tidak akan terjadi jika sedari awal aku tidak dekat dengannya.

Dengan pakaian serba hitam beserta pasmina, aku menutupi diriku. Tak lupa kacamata hitam kugunakan agar mata bengkakku tidak begitu terlihat. Aku, beserta kerumunan orang yang menghadiri proses pemakaman ini, masih belum menerima kepergiannya. Tapi tunggu, ada sesosok lelaki yang mengarahkan pandangan tajamnya padaku, dari seberang sana.

Dia, seseorang yang harus bertanggung jawab atas kematian Sandy. 

Dia, yang membuat Sandy bunuh diri. 

Dia, yang membuatku nyaris bunuh diri.

No comments:

Post a Comment