Friday, September 3, 2010

Kenangan yang Kembali Terbuka

Kulihat kelas masih sepi, hanya ada 3 orang teman yang mana satu diantaranya sedang menangis, menutup mukanya dengan kedua tangannya, dan 2 orang lainnya berusaha menenangkan.

Setelah tas kutaruh di atas mejaku, aku menghampiri ketiga temanku dan bertanya kecil, "kenapa Laras?" Nanda yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Laras menjawab sambil menggeleng, "ga apa-apa." Sedangkan ketika mataku melirik bertanya pada Puspa, ia hanya menggeleng jutek. Sepertinya ada yang salah.

Aku pun mencoba bertanya langsung pada Laras sambil berjongkok di sebelahnya, "hei, kenapa nangis? Udah dong, jangan nangis..." Aku refleks menyentuh tangannya yang sudah tak membungkus wajahnya, dan ia menepisnya. Jelas ada yang salah, tapi aku tak tahu.

"Ras, kenapa, marah sama gue?" Tanyaku pelan sambil melirik kedua temanku yang lain, yang tidak mendapatkan respon yang kuinginkan.

Laras tetap membisu dalam isakkannya, dan pandangannya lurus ke depan. Jelas ia sedang emosi besar, dan ini pasti karenaku.

"Ras, salah gue apa sampai elo segitunya?" Aku mulai berkaca-kaca, biasalah, cengengku kambuh kalau keadaannya sudah seperti ini.

Mulai lah tempat kami berempat dikerubungi teman-teman yang lainnya, karena sebentar lagi bel masuk sekolah berdering.

"Ras, maapin ya, kalau gue punya salah sama elo..." Entah apa yang bisa kukatakan lagi selain kalimat barusan.

Spontan ia berdiri, membanting tangannya ke meja, dan berteriak-teriak sambil menangis, "heh, lo tanya salah lo apa? Gara-gara lo IBU GUE NYARIS MATI TAU!!"

Deg.
Tangisku pun ikut pecah. Beberapa teman yang ikut menyaksikan berusaha menenangkan aku dan Laras. Ia masih berdiri, air matanya terus mengalir, pandangan marah lurus ke depan, dan napasnya terengah-engah menahan emosi yang super dahsyat. Aku masih jongkok, menangis terisak, dengan rangkulan teman-temanku.

"Kalau gue kemarin pulangnya langsung ke rumah, pasti ibu gue baik-baik aja. Untung ada ade gue di rumah, kalau engga ibu gue pasti udah mati!" Ucapnya dengan nada tinggi.

Ya, kemarin aku menyuruh teman-teman kelompok dramaku agar latihan sebentar mengingat deadline yang sudah dekat, karna kami baru sekali latihan. Dan ini bukan untuk kepentinganku saja, tapi untuk kelompok, untuk Laras juga.

"Emang ibu lo kenapa?"

"Ibu gue tuh punya penyakit tulang layu tau! Dan kemarin nyaris aja tiba-tiba jatuh kalau ga ada ade gue!"

Entah lah penyakit tulang layu itu seperti apa. Aku terdiam sejenak, kemudia berkata dengan bodohnya, "ya udah, kalau gara-gara gue ibu lo nyaris mati, bunuh aja gue sekarang..."

Laras kembali membanting meja, kemudian menarik kerah seragamku dan berkata lantang, "mana pisaunya, MANA?!"

"Istigfar kalian!" Ucap beberapa teman yang kemudian berusaha memisahkan aku dan Laras.

"Nggrek, tolong ambilin pisau di kantin..." Pintaku lemah pada Anggrek yang kebetulan paling dekat denganku.

"Astagfirullah, apaan sih lo?"

Bel kelas pun berbunyi, aku digiring teman-temanku untuk duduk di mejaku. Sambil tetap terisak, aku mulai berpikir, apakah ibunya nyaris mati memang benar gara-gara aku? Ya mana aku tau juga kalau ibunya punya penyakit yang aku engga tau itu penyakit apa. Teman sebangkuku bilang, itu bukan salahku. Tentu saja. Sebagai ketua kelompok, aku hanya ingin menampilkan yang terbaik, dan untuk mewujudkan yang terbaik itu harus melalui pengorbanan, seperti mengorbankan waktu pulang ke rumah menjadi lebih lama. Ralat, sedikit lebih lama.

Semua isi kelas tau, bahwa aku dan Laras sebelumnya berteman sangat baik. Kita sering berkumpul bersama dan cerita-cerita tentang rahasia masing-masing. Dan tau tidak, semenjak aku dan Laras bermasalah karena (katanya) aku nyaris membuat ibunya mati, ia ternyata membocorkan semua rahasiaku, dan membuat aku jelek di depan teman-temanku. Seharusnya bukan hanya aku yang jelek di mata teman-temanku, tapi dia juga.

Disini lah kehidupanku mulai rumit. Dan ini semua berakhir 2 bulan kemudian, ketika kakakku yang paling tua meninggal dunia. Laras tiba-tiba saja meneleponku, bilang turut berduka cita, kemudian meminta maaf padaku dan mengaku bahwa ini semua bukan salahku, tapi ia yang salah. Lantas, apakah aku memaafkannya?

Tidak.
Dengan mudahnya ia menghancurkan hidupku. Dengan mudahnya ia mengucap kata maaf. Tidak mungkin dengan mudahnya aku memaafkan dia.

Semua sudah terjadi. Aku sudah dipandang buruk. Dia menjadi sorotan untuk dikasihani, bak setan berlapis malaikat. Aku bertambah memburuk. Dia ingin semuanya kembali seperti awal, dan bertingkah seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Munafik, kembali menjilat air liur sendiri.

Ya, kesuramanku ditutup dengan kepergian kakakku untuk selama-lamanya. Apakah ini tumbal agar kehidupanku kembali seperti semula, Tuhan? Aku sangat menyayanginya, dan sepertinya ini belum waktunya untuk ia pergi.

April-Juni 2006. Kenangan yang kembali terbuka.

No comments:

Post a Comment