Saturday, March 20, 2010

Setia

"Kamu ga setia," tuduhnya padaku.

Aku menatapnya tajam, dan sesekali menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan seiring dengan detak jantungku yang memburu.

Ingin sekali ku menjelaskan, tapi bibir ini begitu kelu untuk berucap.

Belum hilang keteganganku, ia kembali berucap, "kamu jahat." Dan ia memalingkan wajahnya.

Asal kamu tahu, aku seperti ini karena kamu. Aku menjadi seorang Player karena kamu. Aku sulit setia pada pacar-pacarku sebelumnya karena kamu. Kamu yang seharusnya disalahkan, tapi aku jelas tidak bisa menyalahkanmu.

Sejak putusnya kita sekian lama yang lalu, aku berusaha mengalihkan hatiku pada lelaki lain yang pada awalnya mencuri hatiku. Tapi entah mengapa bayanganmu selalu menghantuiku setelah statusku sudah 'in relationship', padahal jelas kamu pun sudah berstatus yang sama denganku. Dan karena itu aku akhirnya putus dengan pacarku. Hal yang sama terus berulang, aku menjalin hubungan dengan lelaki lain, dan putus karena ternyata mereka bukan apa yang hatiku mau.
Ternyata tak ada yang seperti kamu, karena sebenarnya kamulah yang aku mau, kamu lah yang mengganjal hatiku, sampai sekarang.

"Kenapa kamu diem terus? Kenapa kamu tega putusin sahabat aku?"

Air mataku menetes. Selain merasa memburu, hatiku juga terasa teriris.

Ku kira dengan jadiannya aku dengan sahabatnya cukup bisa mengalihkan hatiku darinya. Tapi nyatanya tidak, semakin sulit justru.

"Hei, dengan kamu nangis gini ga bakal meluluhkan hati aku, ga bakal bikin aku ga tega sama kamu, karna kamu sendiri juga ga punya perasaan!" Ucapnya sambil mengguncang bahuku.

Kamu salah sayang.

Suara gemuruh di langit mulai terdengar, membuat suasana agak gelap, dan dingin. Para pengunjung pantai ini mulai berlarian menjauhi bibir pantai, menyisakan seorang perempuan dan seorang lelaki yang tidak merubah posisi berdiri mereka sedari tadi, yang mana mereka adalah aku dan dia.

Ombak semakin besar dan air mulai pasang, tak ada dari kami yang peduli.

"Kamu bener aku emang ga setia," ucapku akhirnya setelah sekian lama membisu.

Kilatan petir menjadi latar belakang kita, disusul dengan air yang menetes dari langit.

Ia hanya mendecak kesal mendengar ucapanku.

"Aku memang ga setia sama mereka, tapi ga bisa gitu aja kamu menyimpulkan aku ga setia."

"Jelas kamu ga setia, dan aku ga suka cara kamu mutusin sahabat aku."

"Sahabat kamu terima, dan dia tau bahwa dengan aku bersamanya, itu salah."

"Ga, kamu salah. Dia sangat kehilangan kamu. Asal kamu tau, aku paling ga suka kalo sahabat aku ngerasain hal yang sama kaya yang aku rasa dulu, karna itu sakit..."

Air mataku terus menetes, tapi sepertinya dia tak bisa membedakan apakah itu air mata atau air hujan.
Air laut telah menggenangi hingga tumitku. Tapi aku tetap berdiri disini.

"Sahabat kamu yang bikin aku tersadar, bahwa aku ternyata bukannya tidak setia, melainkan mereka bukanlah yang aku cari. Dan asal kamu tau, ternyata aku tetap setia pada satu jiwa. Jadi tolong jangan sebut aku tidak setia."

"Dia sakit karna kamu."

"Dia sakit karna nyembunyiin penyakitnya dari kamu, dari kalian."

Spontan aku menundukkan kepala, dan tampaknya ia terkejut.

"Trus kenapa kamu putusin dia? Udah tau dia punya penyakit, tapi kamu malah ninggalin dia."

"Dia yang mutusin aku..., dia sengaja bilang kalo aku yang mutusin dia."

"Ko bisa...?"

"Karna dia tau hati aku sebenernya untuk sahabatnya. Dan dia yang menyadarkan aku akan perasaanku ini."

"Maksud kamu, sahabatnya yang mana?"

"Kamu," ucapku lemah seiring deruan petir yang tak karuan menyambar. "Walaupun aku gonta-ganti pacar terus, tapi hati aku bukan untuk mereka. Walaupun kita udah berakhir 3 tahun yang lalu, tapi setiaku ternyata belum berakhir. Karna setia sama kamu, aku ga setia sama mereka."

"Jadi...?"

"Jadi kamu salah dengan mengatakan aku tidak setia."

Dinginnya udara dan air tidak banyak mempengaruhi panasnya jiwaku. Mungkin jiwanya juga.

Sudah cukup penjelasanku untuk saat ini, lebih baik aku pergi meninggalkan tempat ini dengan berharap kejadian barusan hanyut terbawa ombak. Aku pun berjalan menuju permukaan tanpa pamit, meninggalkan dirinya yang mematung dengan air yang menggenang hampir selututnya.

Aku terus berjalan menuju penginapan rombongan kami, dan ia mengikutiku di belakang.

No comments:

Post a Comment