Wednesday, June 23, 2010

5 cm

Sekitar lewat tengah malam tadi, tiba-tiba saya menagis ketika sedang membaca 5 CM-nya Donny Dhirgantoro (telat banget yak). Bukan, saya belum menemukan sesuatu yg patut ditangisi di halaman 265, tapi saya teringat kalo dulu di kamar almarhum kakak saya, ada novel bercover hitam ini tergeletak di dekat kasurnya. Saya saat itu tak tertarik, karna saya juga baru saja meminjam bacaan baru dari sebuah taman bacaan dekat SMP saya. Novel 5 CM itu bukan milik kakak saya, melainkan temannya. Kakak saya juga saat itu bilang, kalau novel ini bagus. Tapi saya baru membacanya sekarang, hasil hunting buku beberapa hari yg lalu di Gramedia.

Tapat tanggal ini, 23 Juni, kakak saya sudah pergi selama 4 tahun, di usianya yg ke 20 lebih 2 hari. Di 5 CM, saya menemukan percakapan tentang kematian, ketika segerombolan sahabat itu akan menuju Mahameru dan mereka sedang berada di Ranu Pane. Disana saya diingatkan bahwa kita sebagai manusia, bisa mati kapan aja, dan itu menjadi rahasia Illahi. Bisa saja saya setelah menulis ini langsung dipanggil oleh-Nya. Bahkan kakak saya itu merasakan sakit di akhir hayatnya hanya 2 bulan, setelah itu Allah memanggilnya.

Sebelum dia divonis dokter menderita kelainan jantung, dia tidak pernah memperlihatkan sakitnya di depan orang-orang di sekelilingnya. Sok gentle kali ya. Tapi itulah. Divonis dokter, 2 bulan kemudian pergi. Rencana Tuhan emang ga bisa ditebak.

Di depan saya masih ada 5 CM. Ternyata buku ini benar-benar mengingatkan saya pada kakak saya itu. Buktinya hati saya terasa sesak melihatnya. Di ulang tahunnya yg ke 24 tanggal 21 hari Senin kemarin, saya ga sempet ke makamnya dan berdoa buat dia, padahal pengen banget. Terakhir kesana adalah beberapa minggu yg lalu, ketika kakaknya papa yg dari Medan dateng. Suasana tiba-tiba hening disana, dan sesekali saya mengusap hidung agar tak meler, bukan nangis.

Sama seperti ketika dia dimakamkan 4 tahun yg lalu. Jujur, saat itu saya ga bisa nangis, karna air mata saya sepertinya sudah habis, tapi ingus saya terus mengalir. Ga percaya, tanya aja sama sahabat-sahabat saya yg dulu dateng. Ga tau, terkadang saya kalo nahan sesuatu larinya ke ingus, bukan air mata.

Kalo ga salah, seminggu sebelum kakak pergi, dia memuji pakaian saya, kaos lengan panjang berwarna hijau dengan celana jins gombrang kesukaan saya, "Ndah, kamu bagus pake itu." Dan ketika saya mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya, saya mengenakan setelan tersebut. Dan satu kalimat yg paling saya ingat saat itu yg dilontarkan sahabat saya adalah, "MASA JALU NANGIS?" Kemudian sahabat saya itu meluk saya.

Ntah, saya kangen sama dia. Dulu saya berpikir bahwa saya ga akan bisa hidup tanpa dia, dan dunia saya akan hancur. Untungnya ada sahabat-sahabat yg baik hati, yg menghibur saya dengan datang ke rumah hampir tiap hari, ikut tahlilan juga, terlebih Badut Garut dan Badut Jawa saya, Parisya dan Kiki. Tapi ternyata engga ko, saya ga ancur-ancur banget sekarang, intinya saya lebih baik dan mulai menanamkan feminisme sejak SMA, dan saya bisa tanpa kakak saya itu, walaupun tentunya saya rindu.

Dosennya kakak bercerita kepada orang tua saya, "Seumur-umur, baru sekarang saya liat makam yg sampai Isya masih aja banyak yg dateng." Subhanallah, selain hari itu hari baik (Jumat), ternyata banyak juga orang-orang yg sayang sama dia. Bahkan menurut orang tua sahabat kakak saya dari masa kecil, ada sahabatnya yg ga terima sampai-sampai ngerem diri di kamar, dan nangis sendirian, padahal itu cowo. Buat orang-orang aja kakak saya udah berarti, apalagi saya?

Udah ah, saya memble nih dari tadi, dan ga nyangka kalo sebenarnya saya punya kakak lelaki yg menemani selama 14 tahun . Saya minta tambahan doanya ya, dari kalian. Semoga kuburnya selalu dilapangkan oleh Allah dan kakak dikasih tempat terbaik disisi-Nya. Amin.

*Alfatihah cukup ko

**Dan Alfatihah menjadi sangat berarti apabila kita ikhlas membacanya, untuk dia. Terimakasih. :')

No comments:

Post a Comment